-

Selasa, 25 Maret 2008

Dompet merah

Saya tahu saya tidak boleh menghakimi orang lain, tetapi tidak jika berkaitan dengan Kennie Jablonsky. Saya adalah pengawas perawat dan bertugas mengevaluasi kinerja karyawan di Homeland Convalescent Hospital.

Kennie Jablonsky adalah seorang karyawan baru, berperawakan tinggi dan sangat kuat, wajahnya lumayan ganteng dengan rambut pirang yang dipotong sebatas kerah dan bermata hijau gelap. Sesudah masa percobaan selama beberapa ,minggu, saya harus mengakui bahwa ia bersih, tepat waktu dan cukup efisien. Tetapi saya tidak menyukainya.

Kennie Jablonsky terlihat seperti penjahat. Saya mengetahui lingkungan asalnya, lingkungan kotor penuh geng, obat-obatan dan kekerasan. Bahasanya adalah bahasa anak jalanan, perilakunya menyebalkan, cara berjalannya tegak dan teratur seperti seorang petinju dan ekspresinya tertutup seperti pintu baja di ruangan besi di bank.

Pasien kami
Kebanyakn pasien datang kepada kami dengan penyakit parah atau dengan penyakit yang paling berbahaya, usia tua. Mereka datang dalam keadaan lumpuh, lemah, bingung dan putus asa, tidak lagi mampu menjalankan perannya di dunia. Banyak dari mereka telah kehilangan akal sehatnya karena kesehatan yang menurun.

Mary B. adalah salah satunya. Ia dipanggil demikian karena ia adalah salah satu Mary di bangsal sayap barat. Pada usia 94 tahun, Mary B. menjadi lemah selemah jaring laba-laba. Mary B. mengalami gangguan pikiran bahwa seseorang telah mencuri dompetnya. Ia mencarinya sepanjang siang dan malam. Jika tidak terikat di tempat tidur atau di kursi rodanya, ia akan berjalan ke bangsal laki-laki, ruang cuci dan masuk dapur, mencari dengan linglung dan pantang menyerah. Ia kerap menghentikan langkah setiap orang yang mendekat.

"Maukah kau meminjami aku sisir?" Pintanya. "Sisirku hilang. Aku menyimpannya di dompet merahku. Uangku juga hilang. Dimana dompetku? Dimana dompetku?"

Setiap hari ia melakukan hal yang sama, sampai pertanyaan-pertanyaan Mary B. menjadi suara latar, seperti suara gaduh kereta dorong penuh baki yang melewati lorong, dengan mesin pendingin ruangan, atau gangguan udara pada interkom.

Kami semua tahu Mary tidak memiliki dompet. Tetapi, kadang kala seseorang akan berhenti untuk mendengarkannya karena mau berbaik hati atau merasa kasihan, meskipun kami sangat sibuk. Bagaimana pun juga, kebanyakan dari kami akan berkilah dengan mengatakan, "Tentu, Mary, Kalau aku menemukan dompetmu aku akan memberikannya padamu."

Kebanyakan dari kami, kecuali satu, Kennie Jablonsky.

Ia mau mendengarkan Mary B. dan selalu berbicara dengannya. Setiap hari, ketika Mary B. menghentikannya untuk menanyakan dompetnya, Kennie berjanji untuk mencarinya. Hal ini membuat saya penasaran.

Batin saya menyimpulan bahwa Kennie sedang merencanakan sesuatu yang melibatkan Mary. Ia mungkin akan mencuri obat-obatan.

Saya pun memperketat ruang penyediaan obat.

Sebuah tas belanja
Suatu sore, persis sebelum makan malam, saya melihat Kennie berjalan di lorong sambil membawa tas belanja plastik ditangannya. Itu dia, saya berkata sendiri, sambil beranjak dari belakang meja. Saya pun membuntutinya. Saya berhenti di belakang kereta cuci, yang penuh tumpukan keranjang. Kereta itu cukup tinggi untuk menutupi saya, tetapi saya masih bisa melihat Kennie dengan jelas saat ia berjalan melintasi lorong ke arah Mary B. di kursi rodanya.

Ketika sampai di tempat Mary B. ia tiba-tiba menoleh. Saya segera merunduk, tetapi masih bisa menlihatnya mengamati lorong itu dengan seksama. Kennie kemudian mengangkat tas itu. Saya terpaku... ia mengeluarkan sebuah dompet merah.

Tangan Mary yang kurus dan tua terangkat ke wajahnya, menunjukan keheranan dan sukacita, kemudian meraih dompet itu dengan penuh hasrat. Seperti anak kecil yang kelaparan sedang mengambil roti, Mary B. merenggut dompet merah itu. Ia memegangnya sebentar, hanya untuk melihatnya kemudian menempelkannya di dadanya, menyayun-ayunkannya seperti seorang ibu menyayunkan bayi.

Kennie menoleh dan menyapukan pandangan ke sekitar dengan seksama. Merasa puas karena tak ada orang yang melihat, ia membungkuk, membuka tutup dompet itu, merogoh dan menunjukan kepada Mary sebuah sisir merah, dompet koin kecil dan sepasang kaca mata mainan. Air mata sukacita membanjiri wajah Mary. Melihat hal itu saya pun tidak kuasa menahan tangis.

Mujizat untuk Kennie
Diakhir giliran kerja hari itu, saya berdiri di dekat pintu keluar menunggunya. "Hai, Kennie," sapa saya ketika bertemu dengannya. "Apakah kau suka bekerja disini?"

Kennie kelihatan terkejut, kemudian mengangkat bahu. "Ini pekerjaabn terbaik yang pernah saya dapatkan," sahutnya dengan suara parau.

Lalu, sebuah gagasan berkembang. "Ehm, apakah kau pernah berpikir untuk melanjutkan kuliah untuk mendapatkan ijasah perawat?"

Kennie mendengus. "Apakah Anda bergurau? Mujizat jika saya bisa kuliah," katanya. "Ayah saya tinggal di San Quentin dan ibu saya pecandu kokain."

Sambil tersenyum, saya berkata padanya, "Mujizat itu benar-benar ada, Apakah kamu mau kuliah jika aku bisa mendapatkan cara untuk membantu mendapatkan uangnya?"

Kennie menatap saya. Seketika itu juga kesan penjahat itu sirna dan saya menangkap kilasan reaksi yang saya harapkan. "Ya!" adalah satu-satunya jawaban yang dikatakannya. Tetapi itu sudah cukup, karena saya juga yakin bahwa di ruang 306 sayap barat, Mary B. sedang tidur dengan tenang, dan kedua lengannya memeluk sebuah dompet merah.

Tidak ada komentar:

Arsip Renungan

Artikel Renungan favorit pembaca