by MAX LUCADO
Ia membimbing aku ke air yang tenang (Mazmur 23:2)
Anak Anda yang berusia sepuluh tahun khawatir. Begitu resah sampai-sampai ia tidak bisa makan. Begitu cemas ia tidak bisa tidur. " Ada apa?" Anda ingin tahu. Ia menggeleng kepala dan mengeluh, "Aku tidak punya rencana dana pensiun".
Atau anak Anda yang berusia empat tahun menangis di ranajn, " Ada apa sayang?" Ia merintih, "Aku tidak akan pernah lulus di mata kuliah kimia di perguruan tinggi."
Wajah anak Anda yang berusia delapan ditekuk stres. "Aku akan menjadi orangtua brengsek. Bagaimana jika aku menjadi contoh yang tidak baik bagi anak-anakku ?"
Bagaimana tanggapan Anda terhadap pernyataan-pernyataan seperti itu? Selain memanggil seorang psikolog anak-anak, tanggapan Anda pasti tegas dan bersungguh-sungguh:" Kamu terlalu muda untuk meresahkan hal-hal seperti itu. Pada waktunya nanti, kamu bakal tahu sendiri harus berbuat apa."
Beruntung, kebanyakan anak tidak punya pikiran seperti itu.
Harus disayangkan, kita yang dewasa terlalu banyak berpikiran seperti itu. Kekhawatiran adalah tas besar yang berisi banyak beban. Tas itu melimlah dengan "bagaimana jika" dan "sesungguhnya".
"Bagaimana jika hujan turun di hari pernikahanku?"
"Sesungguhnya aku tahu nggak sih bagaimana mendidik anak-anakku?"
"Bagaimana jika aku menikah dengan laki-laki yang mendengkur?"
"Sesungguhnya apa kami punya cukup uang untuk membayar uang sekolah anak kami?"
"Bagaimana jika setelah bersusah payah berdiet, mereka mendapat tahu bahwa daun letus menggemukkan dan coklat tidak?"
Tas besar kekhawatiran. Berat sekali. Besar sekali. Tidak atraktif. Membuat lecet. Sulit dijinjing. Menyebalkan membawanya dan tidak mungkin bisa diberikan pada orang. Tidak ada orang yang ingin mendapat kekhawatiran Anda.
Kalau mau jujur, Anda sendiri juga tidak mau, bukan? Tidak ada orang perlu mengingatkan Anda betapa tinggi ongkos keresahan. (Tetapi - bagaimanapun - saya akan melakukannya.) Kekhawatiran memecahkan pikiran. Kata Alkitabiah untuk khawatir (merimnao) adalah perpaduan dari dua buah kata Yunani, merizo ("memecahkan") dan nous ("pikiran"). Keresahan meretakkan energi kita antara prioritas hari ini dan masalah esok hari. SEbagian pikiran kita ada pada jaman sekarang; sisanya ada pada yang belum ada. hasilnya adalaah menjalani hidup dengan pikiran yang terpecah dua.
Itu bukan akibat satu-satunya. Merasa khawatir bukanlah penyakit, tetapi menyebabkan penyakit. Kekhawatiran dihubungkan dengan tekanan darah tinggi, penyakit jantung kororner, kebutaan, migren, malfungsi kelenjar gondok, dan setumpuk ketidak-beresan lambung.
Keresahan adalah kebiasaan yang mahal. Tentu saja, bisa saja meresahkan sesuati itu perlu jika membuahkan hasil. Tetapi hasilnya tidak ada. Kekhawatiran kita itu sia-sia. Yesus berkata," Siapakah diantara kamu yang karena kekuatirannya dapat menambahkan sehasta saja pada jalan hidupmu?" (Matius 6:27). Keresahan tidak pernah mencerahkan hari-hari Anda, menyelesaikan suatu masalah, atau menyembuhkan suatu penyakit.
Bagaimana kita bisa menangani keresahan? Anda bisa mencoba kita-kiatnya seseorang. Ia begitu resah sehingga menyewa seseorang untuk melakukan pekerjaan beresah ria itu untuknya. Ia menemukan seorang laki-laki yang setuju menjadi peresah bayarannya dengan upah $200,000 per tahun. Setelah laki-laki itu menerima pekerjaan tersebut, pertanyaan pertamanya kepada sang majikan adalah, "Darimana Anda bisa dapat $200,000 per tahun?" Dan si majikan menanggapi," Yang khawatir kan kamu."
Menyedihkan. Tapi khawatir adalah pekerjaan tang tanggung-jawabnya tidak bisa kita alihkan kepada orang lain, tetapi Anda bisa mengatasinya. Tidak ada tempat yang paling baik untuk Anda mulai kecuali dalam ayat dua dari mazmur sang gembala.
"Ia membimbing aku ke air yang tenang," Daud menyatakan. Dan, seandainya kita tidak mengerti maksudnya, ia mengulangi frasa ini dalam ayat berikut: "Ia menuntun aku di jalan yang benar."
"Ia menuntun aku." Allah tidak berada di belakang saya, berteriak, "Jalan!" Ia ada di depan saya, memohon, "Mari!" Ia ada di depan, membuka jalan, membabat semak-semak, menunjuk jalan. Tepat sebelum tikungan Ia berkata, "Belok di sini." Sebelum mendaki, Ia mengarahkan, "Mendaki di sini." Berdiri di sisi batu-batu, Ia mengingatkan, "hati-hati di sini."
Ia menuntun kita. Ia memberi tahu kita apa yang kita butuh ketahui apabila kita harus mengetahuinya. Seperti seorang penulis Perjanjian Baru akan tegaskan: "Kita menerima rahmat dan menemukan kasih karunia untuk mendapat pertolongan kita pada waktunya" (Ibrani 4:16).
Allah membantu pada waktunya. Ia membela kita dengan cara yang sama seperti seorang ayah memberi tiket pesawat terbang kepada keluarganya. Waktu saya melakukan perjalanan dengan anak-anak saya, saya membawa semua tiket kami dalam tas saya. Apabila saatnya tiba untuk naik pesawat, saya berdiri diantara karyawan penerbangan dan anak saya. Sementara tiap anak lewat, saya tempatkan selembar tiket dalam tangannya. Ia, sebaliknya, memberi tiket itu kepada si karyawan. Masing-masing mendapat tiket mereka pada waktunya.
Yang saya lakukan untuk anak-anak saya, Allah lakukan kepada Anda. Ia menempatkan diriNya antara Anda dan kebutuhan. Adan pada saat yang tepat, Ia memberi Anda tiketnya. Bukankah ini janji yang Ia berikan kepada para murid-Nya? "Jika kamu digiring dan diserahkan, janganlah kamu kuatir akan apa yang harus kamu katakan, tetapi katakanlah apa yang dikaruniakan kepadamu, pada saat itu juga, sebab bukan kamu yang berkata-kata, melainkan Roh Kudus" (Markus 13:11).
Bukankah ini pesan yang Allah sampaikan kepada umat Israel ? Ia berjanji untuk memasok manna bagi mereka setiap hari. Tetapi Ia memberi tahu mereka untuk hanya mengumpulkan persediaan sehari saja. Mereka yang tidak taat dan mengumpulkan cukup untuk dua hari kecele, karena manna itu menjadi busuk. Satu-satunya pengecualian adalah hari sebelum Sabat. Pada hari Jumat mereka boleh mengumpulkan dua kali lebih banyak. Selain itu, Allah akan memberi mereka apa yang mereka butuhkan, dalam waktu mereka membutuhkannya.
Allah menuntun kita. Allah akan melakukan hal yang tepat dan benar pada waktu yang tepat. Dan yang Ia lakukan membuat perbedaan besar sekali.
Karena saya tahu bahwa Ia selalu tepat waktu dengan pasokannya, maka saya bisa saja menikmati masa kita saya.
"Berikan seluruh perhatianmu kepada apa yang Allah akukan sekarang, dan jangan resah mengenai apa yang mungkin akan atau mungkin tidak akan terjadi besok. Allah akan membantumu menghadapi hal-hal sulit yang muncul apabila saatnya tiba" (Matius 6:34 - Alkitab The Message - MSG).
Frasa terakhir patut Anda sorot dengan stabilo: "apabila saatnya tiba."
"Saya tidak tahu apa yang akan saya lakukan jika suami saya meninggal."
Anda akan tahu, apabila saatnya tiba.
"Apabila anak-anak meninggalkan rumah, saya pikir bakal berat sekali bagi saya."
Memang tidak akan mudah, tetapi kekuatan akan datang apabila saatnya tiba.
"Saya tidak pernah bisa memimpin sebuah gereja. Terlalu banyak yang saya tidak tahu."
Mungkin Anda benar. Atau mungkin Anda ingin mengetahui terlalu banyak terlalu cepat. Mungkinkah Allah akan mengungkapkan jawaban-jawaban kepada Anda apabila saatnya tiba?
Kuncinya adalah ini: Songsong masalah-masalah hari ini dengan kekuatan hari ini. Jangan mulai mengurus masalah hari esok sampai esok. Anda masih belum punya kekuatan hari esok. Sudah cukuplah apa yang Anda hadapi hari ini.
Lebih dari delapan puluh tahun lalu seorang dokter besar berkebangkasaan Kanada, Sir William Osler, menyampaikan pidato kepada para siswa Universitas Yale, bertajuk " A Way of Life". Dalam pesannya mengenai cara hidup ini ia mengisahkan suatu kejadian di kapal yang ia tumpangi. Suatu hari ia berkunjung ke kamar nakhoda kapal, alarm yang nyaring dan menusuk telinga terdengar, diikuti suara gemeretak dan berdentam di bawah dek. "Itulah kompartemen-kompartemen kedap air yang menutup," sang nakhoda menerangkan. "Itulah bagian penting dari latihan keselamatan kita. Andai benar-benar terjadi kecelakaan, air yang bocor masuk ke dalam satu kompartemen tidak akan mempengaruhi bagian lain dari kapal. Bahkan jika kita bertubrukan dengan gunung es seperti Titanic, air yang membanjir masuk hanya aka nmengisi kompartemen yang robek saja. Tetapi kapal akan tetap terapung."
Waktu ia berbicara kepada siswa di Yle, Osler mengingat gambaran sang nakhoda mengenai kapalnya:
Masing-masing kalian tentu saja organisator yang lebih menakjubkan daripada kapal samudera yang besar itu dan kalian menuju ke perjalanan yang jauh lebih lama. Yang saya sangat anjurkan adalah bahwa kalian menguasai kehidupan kalian dengan menjalani setiap hari dalam kompartemen kedap hari dan ini akan pasti menjamin keselamatan kalian selama seluruh perjalanan kehidupan kalian. Sentuh sebuah tombol dan dengarkan, pada setiap tahap kehidupan kalian, pintu-pintu besi menutup terhadap Masa Lalu - hari-hari kemarin sudah mati. Sentuh sebuah tombol lain dan tutup, denga tirai logam, Masa Depan - hari-hari esok yang belum lahir. Maka kalian aman - aman selama hari ini.
Jangan pikirikan tentang berapa banyak prestasi yang kalian harus raih, kesulitan-kesulitan yang harus diatasi, tetapi dengan takzim kerjakan tugas kecil di sisi kalian, biarkan pekerjaan itu cukup untuk hari ini saja; karena tentu saja kewajiban kita jelas bukanlah untuk melihat apa yang samar-samar terletak jauh di depan tetapi melakukan apa yang dengan gamblang ada di sisi kita.
Yesus menjelaskan hal yang sama secara lebih singkat: "Sebab itu janganlah kamu kuatir akan hari besok, karena hari besok mempunyai kesusahannya sendiri. Kesusahan sehari cukuplah untuk sehari" (Matius 6:34)
Mudah mengatakannya. Tidak selalu mudah melakukannya, ya nggak ? Kita cenderung berkhawatir. Baru saja semalam saya merasa khawatir dalam tidur saya. Saya bermimpi bahwa saya didiagnosa mengidap ALS, sebuah penyakit yang melemahkan otot, yang merenggut nyawa ayah saya. Saya terjaga dari mimpi itu dan, pada saat itu juga di tengah malam, mulai khawatir. Kemudia saya teringat akan kata-kata Yesus, "Janganlah kamu kuatir akan hari besok." Dan akhirnya, saya memutuskan untuk tidak khawatir. Saya menjatuhkan tas keresahan itu. Bagaimanapun, mengapa sih membiarkan masalah hari besok yang dikhayalkan merebut istirahat saya malam ini ? Apakah saya bisa mencegah penyakit itu dengan tetap tidak tidur ? Apakah saya akan menunda penyakit itu dengan memikirkannya ? Tentu saja tidak. Jadi saya mealkkuakn hal yang paling spiritual yang bisa saya lakukan. Saya kembali tidur.
Mengapa Anda tidak melakukan yang sama ? Allah menuntun Anda. Biarkan masalah hari besok sampai besok.
Arthur Hays Sulzberger adalah penerbit New York Times selama Perang Dunia II. Karena konflik dunia tersebut, ia hampir tidak bisa tidur lagi. Ia tak pernah bisa mengusir kekhawatirannya dari pikirannya sampai ia menggunakan kata-kata berikut sebagai mottonya - "satu langkah cukup bagiku" - diambil dari kidung rohani "Lead Kindly Light" (Kidung Jemaat 411 - John Henry Newman / John Bacchus Dykes)
Lead, kindly Light ...
Keep Thou my feet; I do not ask to see
The distant scene; one step enough for me
Ya cahaya kasih, o bimbinglah ...
Tak usah nampak akhir jalanku
Cukup selangkah saja bagiku
Allah juga tidak akan membiarkan Anda melihat pemandangan yang jauh. Jadi sebaiknya Anda berhenti mencari-carinya. Ia menjanjikan sebuah lampu untuk kaki kita, bukan bola kristal untuk masa depan. Kita tidak perlu tahu apa yang akan terjadi besok. Kita hanya perlu tahu bahwa Ia menuntun agar kita "menemukan kasih karunia untuk mendapat pertolongan ktia pada waktunya" (Ibrani 4:16).