-

Kamis, 30 Agustus 2007

MENJINAKKAN LIDAH

Saya baru saja menyelesaikan kesaksian pribadi saya di hadapan sekelompok wanita pengusaha, dan sedang berada di kamar kecil, ketika seorang wanita melangkah masuk. "Anda ingat saya?" tanyanya. Saya menatap tanda pengenalnya, tetapi baik wajah maupun namanya tampak asing bagi saya. "Maaf," kata saya, tetapi ia memotong kata-kata saya. "Lima tahun yang lalu, anda menulis surat yang sangat kasar kepada saya. Surat itu sangat melukai saya, dan saya menyimpannya selama bertahun-tahun, berharap suatu hari saya akan bertemu anda lagi." Wajah saya memerah saat saya bergumul dengan rasa malu dan bingung. Saya tidak mengerti apa maksud wanita ini, dan saya tidak dapat berpikir jernih. "Saya memiliki toko barang antik," ia melanjutkan, "dan setelah berbelanja di toko saya, anda menulis surat yang mengeluhkan sikap saya yang kasar." Terguncang mendengar tuduhannya, saya hanya dapat memikirkan satu hal yang dapat saya lakukan. Saya memegang tangannya dan berkata, "Saya sangat menyesal telah menyakiti anda. Maafkan saya." Wanita itu menarik tangannya, mengangguk, lalu melangkah pergi.

Saya bergegas menuju mobil saya, sebelum air mata saya bercucuran. Kata-kata saya telah begitu melukai seseorang, sehingga orang itu mengingatnya selama lima tahun, dan saya bahkan tidak dapat mengingat kejadian itu! Saya pasti kedengaran seperti seorang munafik saat ia mendengarkan pidato saya tadi. Saya menyandarkan kepala ke setir dan menangis terisak-isak. "Tuhan, ampuni saya karena kata-kata saya yang ceroboh."

Malam harinya, saat saya membaca kembali buku harian saya, saya menemukan catatan tentang kejadian itu. Wanita itu telah mengritik dengan suara keras seorang teman saya yang berbelanja bersama saya, karena telah menyentuh sebuah vas. Ia telah mempermalukan kami, membuat kami merasa seperti anak-anak jahil. Dulu, saya pikir surat itu tidak salah, ia pantas menerimanya! Saya benar- benar ingin membuatnya merasa tidak enak, seperti yang telah dilakukannya terhadap kami.

Tak lama kemudian, saya membaca di dalam Alkitab, mengenai seorang wanita yang tertangkap basah melakukan perzinahan. Ketika orang-orang Farisi menyeret wanita ini ke hadapan Kristus, Ia malah menegur orang-orang Farisi ini, bukan wanita itu. Setelah orang-orang Farisi meninggalkan Kristus sendirian bersama wanita itu, Ia bertanya ke mana orang-orang yang menuduhnya tadi dan apakah mereka menghukumnya. "Tidak satu pun, tuan" katanya. "Aku pun tidak menghukum engkau" kata Yesus. "Pergilah dan jangan berbuat dosa lagi." (Yohanes 8:11) Perbedaan antara kedua konfrontasi ini begitu jelas! Yesus menyerang wanita ini dengan cara yang membuat wanita tersebut tetap terbuka padaNya.

Saya menyerang pemilik toko itu dengan cara yang membangun tembok kebencian. Saya merindukan kesempatan lain untuk berada bersama wanita itu di kamar kecil. Saya telah memperoleh pelajaran yang berharga. Di dalam proses, saya telah melihat cara-cara lain yang lebih ramah untuk mengucapkan hal yang sama. Kata-kata terlalu berharga untuk dilontarkan tanpa dipikirkan baik-baik. Jika di- gunakan dengan ceroboh, kata-kata dapat membangun kesenjangan. Tetapi jika digunakan dengan hati-hati, kata-kata dapat menjembatani menuju Kristus... Maya Mathers

Tidak ada komentar:

Arsip Renungan

Artikel Renungan favorit pembaca